Pages

Tuesday, September 25, 2012

Aku Mencintaimu, Tissa (FF2in1)


 Tissa menekan tombol handphonenya, mengetikkan beberapa kata yang kemudian dikirim kepada Reza. Hanya butuh beberapa menit pesan itu berbalas dengan deringan panggilan.
“Assalamualaikum,” sapa suara dari seberang.
“Waalaikumsalam,” suara Tissa terisak menjawab
“Jangan takut, Sa. Ingat remah-remah roti yang aku ceritakan? Ikuti saja, dankau akan tiba di rumah,” ujar Reza menenangkan.
“Aku tidak takut, Za. Aku hanya bingung mengapa aku menjadi wanita hina seperti ini sekarang.” Suara Tissa kian berat. Kesedihan akan hidup yang ia alami sungguh mengubah riangnya menjadi duka. Pindah ke Ibu kota adalah petaka baginya.
“Kau tak hina, Sa. Kau manusia biasa, dan kesalahan adalah tempatnya manusia. Belum telat, Sa. Pulanglah dan kembali menjadi Tissa yang dahulu,” Reza bertutur lembut, begitu ia merindukan kekasihnya itu.
“Jika aku pulang, bagaimana keluargaku? Akankah mereka menerimaku kembali setelah semua yang aku lakukan?”
Ada aku, aku akan menemanimu menghadapi semua.”
“Kau masih mencintaiku?” Tissa bertanya penuh harap.
“Demi ibu yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku, aku mencintaimu yang dulu, hari ini, esok, lusa, hingga kapanpun. Seburuk apapun, sejahat apapun dirimu, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Tissa Putri Bachtiar.”
Tangis Tissa kian keras, “aku akan pulang.”
“Dan aku akan menjadi yang pertama yang kau lihat ketika pulang.”
Reza ikut menangis dan malam itu hanya untuk mereka.

Meski Menjadi Yang Kedua (FF2in1)


Sedang apa cinta? Masihkah kau merindu atau telah lupa akan aku? Masihkah kau menunggu dan menantiku kembali pulang atau telah ada wanita lain yang membuatmu berdebar saat dengannya?
“Kau  tak boleh pergi,” pintamu di senja itu.
“Ini cita-citaku, mengertilah.”
“Kau yang harus mengerti aku. Semua telah memintaku untuk mengakhiri masa lajangku, dan aku tak mau yang lain kecuali denganmu?”
“Tapi aku harus pergi, Nal. Tunggu aku, aku akan pulang dan kembali menjadi calon istri yang membanggakan bagimu. Aku mencintaimu.” Kataku sambil berlalu darimu.
Aku tak pernah berpikir seperti ini sakitnya tanpamu. Aku menjadi sosok bisu yang tak berbicara seperlunya. Kau tahu seperti apa aku ketika berceloteh riang denganmu, kan? Aku menjadi batu di keramaian dan tersudut dalam pojok gelap dalam rumah. Aku ingin kau datang dan memberi kecupan padaku. Mengajakku pulang dan meneruskan janji pinangan itu. Aku ingin pulang. Aku ingin menjadi wanitamu, meskipun harus menjadi yang kedua setelah pilihan orang tuamu. Mungkinkah Nal?

Monday, September 17, 2012

Aku Tak Lagi Di Sini


Aku menangis memandangi punggungmu yang kian menjauh. Sesaat aku berharap kau berbalik, memohon ampun, dan menyatukan kembali mozaik-mozaik yang telah pecah. Namun, rasa benci ini lebih besar dari sebelumnya. Pengharapan dan mimpi yang dulu kita bangun, hancur tepat saat kau melangkah pergi dari rumah ini. Kau tahu seberapa besar aku ingin menamparmu saat kau lebih memilih tuk mengejar mimpimu, bukan mimpiku dan mimpimu.
Menunggu adalah hal yang menyebalkan. Aku benci itu. Kau pun juga. “Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama akan jawaban cintamu. Aku yakin kau juga mencintaiku. Jangan biarkan aku pergi dan mengejar wanita lain yang tak lebih baik darimu. Karena aku tak ingin yang lain, hanya kau. Jawab esok, dan tepat pukul 12 siang di sini,” ujarmu saat memintaku tuk jadi kekasihmu. Aku tersipu kau memberikanku sebuah kalung bertuliskan namamu dan namaku hari itu. Namun kau sungguh menjengkelkan. Memaksaku menjawab hal yang mungkin akan menentukan masa depanku 10 tahun kemudian dengan batas waktu singkat yang kau tentukan sendiri tanpa perundinganku. Aku ingin sekali menjawab ‘Tidak’, tapi kau benar aku mencintaimu. Dan cinta itu telah menyeretku dalam penantian panjang yang akan aku jalani. Ah, tidak ! Aku tak mau !
Aku mempercayaimu lebih dari saat kau bilang cinta padaku. Aku makin mempercayaimu saat hari pertama kau mengajakku pindah ke rumah ini, rumah kita. Aku percaya kaulah pangeran masa kecilku yang sering didongengkan Bunda Ibet dulu. Kaulah orang yang akan mengangkat kisah suramku menjadi cahaya kehidupan baru yang menyinarimu. Dan aku sungguh sial, kebahagiaan bukanlah akhir dari kisahku.
“Aku harus pergi,” katamu di siang itu, hari ulang tahunku. Aku ingin menamparmu. Menghujatmu dengan kata-kata yang sering aku dengar dari ayah ketika bertengkat dengan ibu. Tapi aku justru menangis dan memohon padamu untuk tak pergi. Tapi mengapa kau tetap pergi? Apakah lukisanku tak menarik lagi bagimu? Sebesar itukah impianmu hingga mengalahkan rasa cintamu padaku?
Aku besumpah demi ayah yang menyayat tangan wanita yang melahirkanku, ketika kau pulang aku tak akan di sini.

Aku Telah Mati Sal


Kau ingat mawar yang kau berikan di malam itu? Aku meletakkanya dalam vas pemberian Icha, sahabatku. Vas itu diberikannya saat ulang tahunku yang ke-17. Ia membuatnya sendiri dari tanah liat. Aku tak tahu dari mana ia belajar membuat vas sebagus itu saat itu. Ia merahasiakannya hingga tahun baru kemarin, saat ia mengenalkanmu padaku. Kaulah sang maestro itu.
Aku hidup dalam angan memilikimu sejak hari itu. Kau tahu, hujan yang mengguyur Bandung kemarin? Ini mengingatkanku tentang tanggal 20 Februari saat kau dan aku berlarian dalam hujan menuju galerimu. Sungguh seperti komik yang pernah aku baca, kau membuat jaketmu sebagai payung untuk kita berdua. Ah, aku tersenyum pilu mengenangnya.
Aku merindukanmu.
Aku tak mendengar kabar Icha sejak 20 Mei, Sal. Begitupun denganmu. Aku membuang kalian ! Aku rasa demikian. Aku tak tahu ini penyesalan atau bukan. Aku ingin jauh darimu saat itu. Aku marah. Aku kecewa. Kau tahu ibuku adalah korban pengkhianatan kan, Sal? Aku telah menceritakan padamu malam di mana aku hampir kehilangan ibu setelah ia melihat ayah bercumbu dengan bawahannya di kantor. Aku benci pengkhianatan, Sal. Kau tahu jelas. Dan aku merasakan yang dirasakan ibu saat malam ke-18 di bulan Mei itu, sal. Kalian membuat seakan aku yang berkhianat, seakan aku yang bersalah. Seakan aku orang ketiga diantara kalian. Kau yang salah, Sal. Kau menginginkan aku sekaligus Icha.
Aku tak pernah merelakanmu. Aku tak ingin kau pergi. Ibu mengutukmu atas semua yang terjadi padaku sekarang. Kau tahu  patung lelaki tua yang kau tunjukkan saat hari kau memintaku untuk menjadi kekasihmu? Aku lebih kurus dari dia, Sal. Aku lemah. Aku tak bernafsu pada segala hal yang disodorkan ibu. Aku tak ingin yang lain. Aku menginginkanmu. Ibu begitu membencimu, Sal. “Kau bodoh!” ibu menghujatku. “Dia lelaki bajingan!” ibu menghujatmu.
Tapi aku membencimu, Sal. Aku ingin kau mati ketika melihat bibirmu menyatu dengan bibir Icha. Aku membenci Icha melebihimu. Dan aku mencintaimu seperti aku ingin mati dalam pisau yang sama dengan yang aku hunuskan padamu. Aku telah mati, Sal.

Saturday, April 21, 2012

Lunturnya Semangat Kartini

Saya masih ingat ketika saya duduk di kelas 1 SD, kami diberi tugas oleh Ibu guru untuk menghapal lagu Ibu Kita Kartini, kata beliau sebentar lagi kita akan menyambut hari kartini . Lagu yang paling saya hapal waktu itu adalah lagu Garuda Pancasila, lirik lagu Ibu Kita Kartin tidak menarik menurut saya ketika itu. Langsung saya gugup dan ketakutan ketika nama saya dipanggil untuk maju ke depan kelas menyanyikannya. Pelan-pelan saya berusaha mengingat lagu tersebut. Saya coba dalam hati, dan saya sukses mengingat bait pertama dalam lagu itu. Mulai lah saya bernyanyi..
Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Dan bait kedua pun, Alhamdulillah saya mengingatnya.
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Namun telak bagi  saya, lidah saya sungguh keseleo ketika memasuki bait ketiga. Kata ‘wahai’ yang seharusnya mengawali bait ketiga tidak saya ikut sertakan.

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Saya seakan kembali ke bait pertama. Saya mulai meracau, entah apa yang saya katakan.
Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Putri Indonesia
Saya semakin tidak karuan. Ibu guru yang bijaksana dan baik hati akhirnya menyuruh saya duduk kembali dan menghapal lagu tersebut dengan baik. Saya sungguh malu saat itu, bukan malu karena tidak hapal lagu nasional – nasionalisme saya saat itu tentu masih setinggi kutu, namun karena saya tidak hapal lagu sependek itu. Bodoh! Akhirnya saya kembali ke tempat duduk dengan kepala tertunduk.
Jika saya mengingat-ingat kejadian itu, saya akan tertawa sendiri membayangkan betapa bodohnya saya yang tidak dapat menghapal lagu tersebut. Tapi, ya namanya anak-anak.
Namun, beberapa tahun setelah kejadian itu, saya telah lebih dewasa dan mengerti seutuhnya makna di balik lagu tersebut, saya mulai menyadari betapa pentingnya semangat Kartini dalam hidup wanita Indonesia. Tidak hanya sekedar menghapal lagu Kartini, tapi menanamkan keteladanannya dalam bersikap dan bertindak.
Dalam bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang begitu jelas cita-cita dan tuntutannya terhadap diskriminasi perempuan pada zaman itu. Ibu Kartini, membantu kita memahami betapa beratnya hidup terkurung, tak mampu bergerak, dijerat oleh sebuah sistem dan keadaan yang tak menganggap keberadaan sosok wanita. Perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan, padahal peran perempuan sangat besar dalam membangun bangsa.
Jika kita bandingkan dengan masa sekarang, tentu cita-cita Ibu Kartini telah terwujud dengan semakin jelasnya peran perempuan dalam sendi-sendi kehidupan. Mulai dari menjadi cleaning service, hingga menjadi pemangku jabatan di pemerintahan. Namun, apa semuanya sudah berada pada posisinya? Apa kabar dengan globalisasi dan moderniasasi? Apa kabar dengan westernisasi yang masuk dengan bebas dan menggerogoti budaya dan adat bangsa ini?
Tantangan perempuan zaman sekarang bukan berupa penindasan, kekangan, dan larangan mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun, lebih kompleks dengan semakin pesatnya perkembangan zaman. Segala macam budaya terbang bebas dan berkeliaran di setiap pelosok pertiwi, melunturkan jati diri bangsa. Tidak hanya tantangan dari luar, justru dari dalam diri sendiri lah yang terbesar.
Sungguh ironis. Ketika peringatan hari Kartini digembar-gemborkan dengan berpakaian adat dan segala keriuhannya, bangsa ini tak melihat betapa telah turunnnya nilai sosial dan budaya Indonesia. Sejatinya, kita harus merubah pola pikir akan peringatan Hari Kartini.  Tidak  hanya tentang berkebaya, namun merealisasikan semangat peejuangan dan cita-cita Kartini dalam membangun dan mencerdaskan bangsa agar siap selalu dalam menghadapi era globalisasi tanpa adanya pengaruh budaya asing yang tak sesuai dengan cita-cita emansipasi itu sendiri.



Sebuah koreksi bagi kita perempuan..
Proud to be a girl!!!
Proud to be Indonesia!!!






Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Selamat Hari Kartini perempuan Indonesia ^_^






Friday, April 20, 2012

Ada Apa Dengan Sang Dokter?



“Bagi Valentino keadaan ini rasanya seperti pergi ke bioskop dimana pertunjukan dimulai tanpa melihat ada sosok Rossi yang turut berperan dalam film tersebut, Rossi sedang berada di sebuah ruangan gelap (bioskop) dan tak dapat melihat apapun. Dia tidak tahu ke mana akan pergi dan merasa ketakutan. Sebuah perasaan yang buruk yang hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum dirinya akan merasa terbiasa berada di dalam kegelapan dan kontur ruangan tersebut akan terasa lebih terang. Rossi perlu untuk dapat melihat seberkas cahaya dan seharusnya tidak merasa ketakutan saat berada di kegelapan untuk saat ini.”
Begitulah ilustrasi yang diberikan oleh Dr. Claudio Costa, pendiri Clinica Mobile mencoba mendeskripsikan kondisi mental yang tengah dirasakan oleh The Doctor usai mendapat hasil buruk di GP Qatar lalu.

Awalnya  sedikit bingung ketika membaca ilustrasi yang diungkapkan psikolog yang begitu mengenal karakter rider MotoGP selama 3 dekade tersebut. Apalagi kata-katanya yang sedikit berlebihan dengan menggunakan kata ‘ketakutan’ seakan Rossi tengah tertekan dan depresi berat. Namun, akhirnya saya  mengerti ketika saya  membacanya lebih dari tiga kali. Rossi sedang galau. Ia galau akan motornya yang tak kunjung membaik. Ia galau akan timnya yang tak jua mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi memicu understeer yang selama ini menjadi kendalanya dalam menjinakkan Ducati miliknya. Ia galau karena banyaknya pengamat, pers, fans, rider, bahkan orang-orang sok tau yang tak mengetahui masalahnya yang sebenarnya mengomentari bahkan menghujat dirinya. Dan ia galau karena ia tak kunjung jua naik podium.
Mungkin empat hal itu yang menjadi kegalauan utama The Doctor. Dan ini pun sungguh terlihat jelas dari komentar Rossi kepada pers usai GP Qatar lalu. “Jika kami bekerja dengan baik maka kami bisa bertarung untuk posisi kelima atau keenam. Saya tak tertarik untuk itu. Jika Anda harus bertarung untuk posisi lima maka sedikit demi sedikit Anda akan kehilangan antusiasme.”
Sebenarnya Vale balapan untuk apa? Untuk sekedar  podium atau membuktikan eksistensinya sebagai ayam tua yang masih dapat bertelur? Kalau dilihat dari tanggapannya dan performa saat GP Qatar lalu, tentu hasil yang menjadi incaran Vale. Jika dibandingkan dengan teman satu timnya, Nicky Hayden bekerja dengan lebih baik. Bermain dengan caranya, keep head down, dan tidak neko-neko. Dan itu tidak dilakukan Rossi. Padahal motor dan masalah yang dihadapi mereka adalah sama, dan seharusnya Rossi bertanya pada dirinya sendiri ‘ada apa denganku?’ melihat kondisi Hayden yang mampu berada di depannya.
Tak ada seorangpun yang meragukan bakat Vale, ia menakjubkan! Namun, bakatnyalah yang kini menjadi beban besar baginya untuk menjinakkan Desmosedici GP12. Mungkin Rossi berpikir, “Hey, aku telah mendapatkan banyak gelar, menjuarai banyak seri, memenangkan banyak piala, dan sungguh bukan tugasku untuk memenangkan tempat tanpa podium. Dan jika aku mendapat motor seperti Yamaha atau Honda, tentu aku akan berada di atas”.
Namun, kenyataan tidak semanis angan-angan. Bukan saatnya bagi Vale melemparkan handuk pada Ducati yang telah berkorban banyak deminya, menarik tim dari World Superbike, bahkan seluruh pemasukan demi memberikan yang terbaik bagi The Doctor. Mencairkan suasana dalam paddock dan merancang motor yang lebih kompetitif serta tidak meributkan masalah understeer lagi harus dilakukan Rossi.
Sungguh seperti bukan Rossi. Rossi seakan-akan bukan seperti dirinya yang biasa. Menyalahkan tim dan menuntut banyak tanpa memberi lebih sungguh tak terlihat seperti Rossi. Rossi seperti sedang dirasuki sosok monster yang jahat dan meggerogoti setiap sel-sel syaraf dalam tubuhnya yang membuat ia sulit untuk tersenyum seperti cirri khasnya selama ini. Dan monster jahat itu sangat ingin menjatuhkannya. Sedangkan jiwa Rossi yang asli sedang melakukan perjalanan astral untuk melakukan reuni bersama sahabatnya Almarhum Marco Simoncelli.
Ah, semoga Rossi segera kembali dari mimpi buruknya dan menyadari, “Hey, where I’ve been this long time??”
Sebuah pertaruhan mahadahsyat, demi gengsi, harga diri, talenta, dan tahta.



Monday, April 9, 2012

Angkot



“Menyebalkan,” gerutuku dalam hati. Angkot yang aku tunggu sejak setengah jam yang lalu tak kunjung datang. Seharusnya aku sudah berada di rumah, memakai pakaian tidurku yang hangat, dan memandang layar laptopku sekarang jika Jaka menjemputku. Namun kenyataannya aku masih berada di depan bimbelku tercinta dan memakai pakaian sekolah yang aku rasa baunya sungguh aduhai.
“Alya nggak ada temen di rumah,” ujar Jaka memberi alasan padaku tadi.
Dan terpuruklah aku di sini. Menanti angkot bernomor 10, berwarna biru yang ketersediaannya di muka bumi sungguh terbatas. “Oh yeah, sangat sesuatu.”
Jika diurut dari belakang, sesungguhnya ini semua salah mama. Mama yang memaksaku untuk ikut bimbel, supaya aku bisa lulus UN dan SNMPTN mengandalkan otakku dan bukan mengharap makhluk tak berwujud yang datang memberi pencerahan. Kesimpulannya satu, mama sangat mengerti kemampuan otak anaknya yang terbatas. “Thanks, mom!”“
"Kok belum pulang, Ki?” tanya Bang Salim, tentor matematikaku tiba-tiba yang berhenti di depanku dengan sepeda motornya. For your information nih, Bang Salim ini adalah MWT-nya bimbel aku. Dan MWT itu adalah Most Wanted Tentor. Kalau bagi aku sih, dia itu 3S. Super ganteng, super pinter, dan super kece. Jika belum punya Jaka, mungkin aku sudah menjadi seperti siswi-siswi yang lain, wanna looks perfect jika dia masuk ke kelasku.
“Eh, Bang Salim,” sapaku. “Belum nih bang, supir angkotnya pada lagi ikut demo anti kenaikan BBM,” jawabku sembarangan. Sembarangan dan oh tidak, dia tersenyum mendengarnya. Aku rasa aku terbang selama 5 detik akibat sihirnya itu.
“Nggak mau abang anter?”


What? Anter? Jika itu terjadi, aku akan diburu oleh para gadis seantero jagad raya. “Ha?” aku sok terkejut, berusaha menguasai diri agar tidak mengatakan hal yang tak seharusnya. “Nggak usah bang, terima kasih. Bentar lagi pasti angkotnya datang.” Sungguh, jawaban terbodoh yang pernah aku keluarkan dari mulutku.
“Kalau gitu abang duluan ya.”
“Iya bang, hati-hati ya.”
Bang salim memacu motornya, layaknya Jorge Lorenzo, aku membayangkan aku menjadi wanita beruntung yang dapat menjadi seseorang yang ada diboncengannya. Kesempatan tadi, sungguh tak masuk di akal aku menolaknya.
“BODOH!” hujatku pada diri sendiri.
Hening dan sepi, mengingatkan aku pada sang angkot yang tak jua menghampiriku. Ini sudah jam delapan malam, dan diambang batas wajar. Aku melirik ke kanan dan kiri. Nobody’s here. Okay, aku mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Berusaha tidak mengingat cerita hantu iwak peyek yang pernah diceritakan Tarmizi padaku, berusaha melupakan kisah nyata temanku yang katanya pernah dibawa ke dunia lain oleh makhluk dunia lain, dan berusaha untuk tidak memikirkan cerita Jaka akan temannya yang pernah ketemu hantu Indonesia Idol, hantu yang terobsesi jadi Indonesian Idol. Namun ternyata, aku gagal. Aku mengingat semua itu.
Ketakutan itu mulai timbul dari perut turun ke kaki, dari perut naik ke tangan, dari perut ke kepala, dari perut ke semuanya, lalalalalala.
Aku ingat dulu waktu aku masih kecil, sangat kecil, mama bilang jika kamu takut, tutup mata kamu dan baca doa. Ide bagus, namun sayang aku lupa doa apa yang waktu itu mama bilang. Dengan sangat menyesal dan penuh dosa, aku menundukkan kepala dan memejamkan mata serta mengangkat tangan. “Ya Allah, Ya Tuhanku, aku tahu kita jarang berkomunikasi, ya Kau tahulah aku bukan hamba-Mu yang rutin lima kali ngelapor tiap hari, tapi aku ini tetap hamba-Mu kan? Aku boleh minta dong, tolong datangkanlah sebuah limousine yang paling mahal di bumi-Mu ini lengkap dengan supir setampan Brad Pitt dan fasilitas mewahnya untuk menjemputku sekarang. Aku janji, akan melakukan kewajibanku yang lima itu tanpa paksaan dari siapa pun setiap hari. Amin.”
Aku membuka mata. Melihat ke kanan, terlihat dua buah lampu terang hemat energi mendekat. “Limousine! God, You’re so cool!” pikirku dalam hati.
Cahaya itu kian dekat, kian dekat, kian dekat. Tampaklah si angkot nomer 10 berwarna biru itu. “Alhamdulillah.” Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Tanpa pikir panjang karena pikiranku memang tak pernah panjang, aku langsung menaiki angkot kesayangan supir angkotnya itu. Angkot itu sepi, hanya ada aku, dia dan kamu. Dia, seorang kakak yang tidak cantik yang memakai kaca mata super tebal yang menunjukkan identitasnya.  Dan kamu, preman pasar dengan tato shaun the sheep di tangan kanannya, “oh so cute.”
Tak sengaja, sungguh tak sengaja aku melihat tangan si preman itu, ternyata ia tak memiliki jari di tangan kirinya. Ia membalut tangannya dengan sapu tangan bermotif bunga-bunga berwarna pink, sungguh preman yang berhati lembut.
“Kenapa liat-liat?” tanya si preman tiba-tiba. Suara preman sungguh menggetarkan jiwaku.
“Eh anu Bang,” aku gelagapan seperti seseorang yang ketahuan mencuri hati seorang pangeran.
Aku mengalihkan pandanganku. Sesekali melirik ke arah kakak yang ada di depanku. Ia memeluk sebuah buku, sangat tebal, “Gajah Mada, Sumpah Palapa”. “Wew, beraaaaat,” pikirku. Aku akan menghabiskan seluruh masa mudaku untuk membaca buku setebal dan semengerikan itu.
Semua berjalan aman-aman saja hingga tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada bang supir.
Bang supir diam tak menjawab.
“Kenapa berhenti, Bang?” tanyaku lagi pada bang supir.
Seperti karang yang dihempas ombak, bang supir keras dan kokoh duduk di depan, ia tetap diam.
Kediamannya menimbulkan kecurigaan dan takut dalam diriku. Aku menoleh ke arah kakak yang tidak cantik tadi. She has gone! Dia nggak ada. Aku menoleh ke samping kiri, preman shaun the sheep juga hilang. Aku melihat ke arah bang supir. Hilang! Aku sendiri, di dalam angkot, di tengah hutan! “Ya Allah, ada apa ini?” Ini bukan april fools atau hari ulang tahunku. Sungguh ini tidak lucu.
Tiba-tiba angkot bergetar, mengeluarkan suara memekikkan telinga, dan asap putih muncul dari bawah angkot. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin meloncat keluar dari angkot, namun  sesosok makhluk muncul di pintu angkot. Hantu Iwak Peyek! Ia tak sendiri, hantu Indonesian Idol, Jin Tomang Elok, kunti ketawa, poconggg, dan sohib-sohibnya yang lain mengerumuni angkot.

Hening
“Ke Binjai dek?” tanya poconggg.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” aku berteriak sejadi-jadinya.



NB : Cerpen ini, tidak pernah dimuat di harian, bulanan, tahunan manapun. nasib jadi penulis super amatir T.T


Friday, April 6, 2012

Hanya Kau


Aku mematikan lampu 
Menarik selimut

Menutupi kepedihan
Menutupi luka

Dalam gelap
Kulihat engkau
Berdiri tegap
Memegang bendera
Menyandang gelar

Dipayungi sosok cantik sang bidadari
Bergegas menunggangi pacuan
Tuk berlari kencang
Mengelilingi lintasan
Beradu dengan waktu dan kecepatan



Mata terpejam
Riuh tepuk tangan menghilang
Kau kian cepat
Menerjang panasnya sepang
Hingga hilang dari pandangan

Tak ada yang sepertimu

Hanya Kau..



Aku baru saja beberapa menit yang lalu menonton sport7 malam special MOTOGP 2012. Dan ada special moment Marco Sinomcellinya. Aku menangis, sedih.  Masih terbayang dibenakku permainan sic yang brutal dan ugalan namun tetap indah dan menghibur. I'm not his big fan, but I'm his FAN. Dan aku salah satu penyumbang air mata ketika ia pergi saat itu. Selama lebih dari dua bulan aku besedih karenanya. Aku ingat teman-temanku menyemangatiku agar tidak terlalu larut dan menyuruhku mengganti profile pictureku di facebook yang pada saat itu aku gunakan adalah foto Marco. Hancur sekali rasanya ketika aku mengingatnya.

Kenapa oh kenapa.. mengingat sosoknya seakan menggali kenangan yang menghilang tanpa ucapan selamat tinggal. Will never forget him, my lovely badboy.. Super Sic


Thursday, March 1, 2012

What I wanna be??


Seseorang teman pernah bertanya, "kenapa kamu mau jadi jurnalis??" Aku jawab dengan sebuah pertanyaan, “tau Yulika Satria Daya?” Ia menggeleng dan menampakkan wajah bingung. Aku menarik napas pertanda kesal, dalam hati mengutuknya karena tidak tahu siapa Yulika Satria Daya.

“Yulika Satria Daya, seorang pengembara yang pernah memancing di Jembatan Galata, Istanbul, Turki. Ia juga pernah menyaksikan sebuah pernikahan di mana pasangan pengantinnya berikrar akan cintanya dengan menguunakan gembok cinta di Moskow, Rusia. Ia juga pernah ke Maroko, Mesir, Thailand, Arab Saudi, Inggris, Italia, dan banyak Negara lainnya. Namun, ia melakukannya dengan gratis, bahkan dia di bayar”. Jelasku penuh semangat dan panjang lebar.

“Lalu hubunganya sama kamu apa?” tanya temanku lagi.



Aku menghela napas dan kemudian melanjutkan, “dia itu seorang reporter di acara Backpacker, aku ingin sepertinya – mengelilingi dunia secara gratis. Banyak tempat yang aku ingin kunjungi, seperti yang sering aku lihat di tv dan di buku. Sayangnya, aku bukan anak konglomerat atau mafia pajak, kantong ayah dan umi ditambah uang tabunganku yang tak seberapa itu tidak akan pernah cukup untuk membuat semua itu nyata. Maka, aku perlu dan harus menjadi seperti Bang Yulika untuk mewujudkannya. Tak harus keliling dunia, hanya ke beberapa negara saja tak apa, yang penting itu terjadi”.

Temanku manggut-manggut tanda mengerti – mungkin. Ia berlalu.

Aku pun pergi, langkah pertama telah berlalu sejak ikrarku untuk meraih apa yang orang sebut cita-cita itu terjadi. Langkah selanjutnya? Akan ada langkah selanjutnya, akan ada krikil, batu marmer, batu apung, batu malihan, batu metamorf, dan batu-batu lainnya. Tuhan tahu yang terbaik untukku.








BANG YULIKA, MY SMILE KILLER ^.^





Wanna know more about my sweety Yulika Satria Daya, cool guy with a killing smile? Join his blog

DIA


Dia
tidak ada setiap saat
tapi dia akan selalu ada ketika aku membutuhkannya

Dia
tidak tahu cara bernyanyi yang benar
tapi dia selalu punya cara sendiri untuk menghiburku

Dia
bukan ibu peri dalam cerita cinderella
tapi dia mampu membuatkanku sepatu kaca terbaik yang pernah ada

Dia
bukan malaikat atau bidadari
tapi dia doraemon yang punya berbagai alat dan cara
untuk membuatku selalu dalam kondisi terbaik

Dia
pernah menangis, tertawa, jatuh dan bangun
tapi ya, dia tak pernah lupa untuk bangun dan memebangunkanku

Dengan bangga aku mengatakan

Dia Ummiku..

Terlahir darinya adalah kehormatanku
Mengenalnya adalah anugrah terindahku
Mencintainya adalah rasa termanis yang pernah kurasakan


MY UMMI, ME, AND MY SIST


pernah diterbitkan di mading sekolah,  hehehh :)

Sunday, February 26, 2012

Tertidur


Tertidur
Bermimpi
Dia…

Air mata
Duka
Luka
Menarik napas
Menyeka keringat
Tersenyum

Hadiah
Kecupan
Pelukan

Menghangatkan
Menenangkan
Membahagiakan
Membuat indah

Terbangun
Tersadar

Hanya diam
Tanpa senyuman

Saturday, January 28, 2012

It's about???



Sebenarnya saya bingung mengapa saya berani membuat blog (kenapa harus takut ya -_-"). Dulu, waktu masih ABG - sekarang saya sudah gede (bukan tua ya), udah dapet angka 17 dong.. saya pernah punya blog, sekitar pas SMP gitu deh. Tapi udah lama nggak saya update dan membusuk jadinya. And now, saya coba-coba lagi, bikin blog. Nggak tau kenapa sih dan nggak yakin juga bakal bisa sering ngepost di blog ini. Entah apa juga yang bakal saya tulis di sini.

Ya, we'll see lah ya.. enjoy my blog :) 

The First


It's one step
my first
gonna be a long story
a long road
with you, my best one
Nabbilong, The Long Journey