“Bagi Valentino keadaan ini rasanya seperti pergi ke bioskop dimana pertunjukan dimulai tanpa melihat ada sosok Rossi yang turut berperan dalam film tersebut, Rossi sedang berada di sebuah ruangan gelap (bioskop) dan tak dapat melihat apapun. Dia tidak tahu ke mana akan pergi dan merasa ketakutan. Sebuah perasaan yang buruk yang hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum dirinya akan merasa terbiasa berada di dalam kegelapan dan kontur ruangan tersebut akan terasa lebih terang. Rossi perlu untuk dapat melihat seberkas cahaya dan seharusnya tidak merasa ketakutan saat berada di kegelapan untuk saat ini.”
Begitulah ilustrasi yang diberikan
oleh Dr. Claudio Costa, pendiri Clinica Mobile mencoba
mendeskripsikan kondisi mental yang tengah dirasakan oleh The Doctor usai
mendapat hasil buruk di GP Qatar lalu.
Awalnya sedikit bingung
ketika membaca ilustrasi yang diungkapkan psikolog yang begitu mengenal
karakter rider MotoGP selama 3 dekade tersebut. Apalagi kata-katanya yang
sedikit berlebihan dengan menggunakan kata ‘ketakutan’ seakan Rossi tengah
tertekan dan depresi berat. Namun, akhirnya saya mengerti ketika
saya membacanya lebih dari tiga kali. Rossi sedang galau. Ia galau akan
motornya yang tak kunjung membaik. Ia galau akan timnya yang tak jua
mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi memicu understeer yang selama ini
menjadi kendalanya dalam menjinakkan Ducati miliknya. Ia galau karena banyaknya
pengamat, pers, fans, rider, bahkan orang-orang sok tau yang tak mengetahui
masalahnya yang sebenarnya mengomentari bahkan menghujat dirinya. Dan ia galau
karena ia tak kunjung jua naik podium.
Mungkin empat hal itu yang menjadi
kegalauan utama The Doctor. Dan ini pun sungguh terlihat jelas dari komentar
Rossi kepada pers usai GP Qatar lalu. “Jika kami bekerja dengan baik maka kami
bisa bertarung untuk posisi kelima atau keenam. Saya tak tertarik untuk itu.
Jika Anda harus bertarung untuk posisi lima maka sedikit demi sedikit
Anda akan kehilangan antusiasme.”
Sebenarnya Vale balapan untuk apa?
Untuk sekedar podium atau membuktikan eksistensinya sebagai ayam tua yang
masih dapat bertelur? Kalau dilihat dari tanggapannya dan performa saat GP
Qatar lalu, tentu hasil yang menjadi incaran Vale. Jika dibandingkan dengan
teman satu timnya, Nicky Hayden bekerja dengan lebih baik. Bermain dengan
caranya, keep head down, dan tidak neko-neko. Dan itu tidak dilakukan Rossi.
Padahal motor dan masalah yang dihadapi mereka adalah sama, dan seharusnya Rossi
bertanya pada dirinya sendiri ‘ada apa denganku?’ melihat kondisi Hayden yang
mampu berada di depannya.
Tak ada seorangpun yang meragukan
bakat Vale, ia menakjubkan! Namun, bakatnyalah yang kini menjadi beban besar
baginya untuk menjinakkan Desmosedici GP12. Mungkin Rossi berpikir, “Hey, aku
telah mendapatkan banyak gelar, menjuarai banyak seri, memenangkan banyak
piala, dan sungguh bukan tugasku untuk memenangkan tempat tanpa podium. Dan
jika aku mendapat motor seperti Yamaha atau Honda, tentu aku akan berada di
atas”.
Namun, kenyataan tidak semanis
angan-angan. Bukan saatnya bagi Vale melemparkan handuk pada Ducati yang telah
berkorban banyak deminya, menarik tim dari World Superbike, bahkan seluruh
pemasukan demi memberikan yang terbaik bagi The Doctor. Mencairkan suasana
dalam paddock dan merancang motor yang lebih kompetitif serta tidak meributkan
masalah understeer lagi harus dilakukan Rossi.
Sungguh seperti bukan Rossi. Rossi
seakan-akan bukan seperti dirinya yang biasa. Menyalahkan tim dan menuntut banyak
tanpa memberi lebih sungguh tak terlihat seperti Rossi. Rossi seperti sedang
dirasuki sosok monster yang jahat dan meggerogoti setiap sel-sel syaraf dalam
tubuhnya yang membuat ia sulit untuk tersenyum seperti cirri khasnya selama
ini. Dan monster jahat itu sangat ingin menjatuhkannya. Sedangkan jiwa Rossi
yang asli sedang melakukan perjalanan astral untuk melakukan reuni bersama
sahabatnya Almarhum Marco Simoncelli.
Ah, semoga Rossi segera kembali
dari mimpi buruknya dan menyadari, “Hey, where I’ve been this long time??”
Sebuah pertaruhan mahadahsyat,
demi gengsi, harga diri, talenta, dan tahta.
No comments:
Post a Comment