Pages

Monday, April 9, 2012

Angkot



“Menyebalkan,” gerutuku dalam hati. Angkot yang aku tunggu sejak setengah jam yang lalu tak kunjung datang. Seharusnya aku sudah berada di rumah, memakai pakaian tidurku yang hangat, dan memandang layar laptopku sekarang jika Jaka menjemputku. Namun kenyataannya aku masih berada di depan bimbelku tercinta dan memakai pakaian sekolah yang aku rasa baunya sungguh aduhai.
“Alya nggak ada temen di rumah,” ujar Jaka memberi alasan padaku tadi.
Dan terpuruklah aku di sini. Menanti angkot bernomor 10, berwarna biru yang ketersediaannya di muka bumi sungguh terbatas. “Oh yeah, sangat sesuatu.”
Jika diurut dari belakang, sesungguhnya ini semua salah mama. Mama yang memaksaku untuk ikut bimbel, supaya aku bisa lulus UN dan SNMPTN mengandalkan otakku dan bukan mengharap makhluk tak berwujud yang datang memberi pencerahan. Kesimpulannya satu, mama sangat mengerti kemampuan otak anaknya yang terbatas. “Thanks, mom!”“
"Kok belum pulang, Ki?” tanya Bang Salim, tentor matematikaku tiba-tiba yang berhenti di depanku dengan sepeda motornya. For your information nih, Bang Salim ini adalah MWT-nya bimbel aku. Dan MWT itu adalah Most Wanted Tentor. Kalau bagi aku sih, dia itu 3S. Super ganteng, super pinter, dan super kece. Jika belum punya Jaka, mungkin aku sudah menjadi seperti siswi-siswi yang lain, wanna looks perfect jika dia masuk ke kelasku.
“Eh, Bang Salim,” sapaku. “Belum nih bang, supir angkotnya pada lagi ikut demo anti kenaikan BBM,” jawabku sembarangan. Sembarangan dan oh tidak, dia tersenyum mendengarnya. Aku rasa aku terbang selama 5 detik akibat sihirnya itu.
“Nggak mau abang anter?”


What? Anter? Jika itu terjadi, aku akan diburu oleh para gadis seantero jagad raya. “Ha?” aku sok terkejut, berusaha menguasai diri agar tidak mengatakan hal yang tak seharusnya. “Nggak usah bang, terima kasih. Bentar lagi pasti angkotnya datang.” Sungguh, jawaban terbodoh yang pernah aku keluarkan dari mulutku.
“Kalau gitu abang duluan ya.”
“Iya bang, hati-hati ya.”
Bang salim memacu motornya, layaknya Jorge Lorenzo, aku membayangkan aku menjadi wanita beruntung yang dapat menjadi seseorang yang ada diboncengannya. Kesempatan tadi, sungguh tak masuk di akal aku menolaknya.
“BODOH!” hujatku pada diri sendiri.
Hening dan sepi, mengingatkan aku pada sang angkot yang tak jua menghampiriku. Ini sudah jam delapan malam, dan diambang batas wajar. Aku melirik ke kanan dan kiri. Nobody’s here. Okay, aku mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Berusaha tidak mengingat cerita hantu iwak peyek yang pernah diceritakan Tarmizi padaku, berusaha melupakan kisah nyata temanku yang katanya pernah dibawa ke dunia lain oleh makhluk dunia lain, dan berusaha untuk tidak memikirkan cerita Jaka akan temannya yang pernah ketemu hantu Indonesia Idol, hantu yang terobsesi jadi Indonesian Idol. Namun ternyata, aku gagal. Aku mengingat semua itu.
Ketakutan itu mulai timbul dari perut turun ke kaki, dari perut naik ke tangan, dari perut ke kepala, dari perut ke semuanya, lalalalalala.
Aku ingat dulu waktu aku masih kecil, sangat kecil, mama bilang jika kamu takut, tutup mata kamu dan baca doa. Ide bagus, namun sayang aku lupa doa apa yang waktu itu mama bilang. Dengan sangat menyesal dan penuh dosa, aku menundukkan kepala dan memejamkan mata serta mengangkat tangan. “Ya Allah, Ya Tuhanku, aku tahu kita jarang berkomunikasi, ya Kau tahulah aku bukan hamba-Mu yang rutin lima kali ngelapor tiap hari, tapi aku ini tetap hamba-Mu kan? Aku boleh minta dong, tolong datangkanlah sebuah limousine yang paling mahal di bumi-Mu ini lengkap dengan supir setampan Brad Pitt dan fasilitas mewahnya untuk menjemputku sekarang. Aku janji, akan melakukan kewajibanku yang lima itu tanpa paksaan dari siapa pun setiap hari. Amin.”
Aku membuka mata. Melihat ke kanan, terlihat dua buah lampu terang hemat energi mendekat. “Limousine! God, You’re so cool!” pikirku dalam hati.
Cahaya itu kian dekat, kian dekat, kian dekat. Tampaklah si angkot nomer 10 berwarna biru itu. “Alhamdulillah.” Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Tanpa pikir panjang karena pikiranku memang tak pernah panjang, aku langsung menaiki angkot kesayangan supir angkotnya itu. Angkot itu sepi, hanya ada aku, dia dan kamu. Dia, seorang kakak yang tidak cantik yang memakai kaca mata super tebal yang menunjukkan identitasnya.  Dan kamu, preman pasar dengan tato shaun the sheep di tangan kanannya, “oh so cute.”
Tak sengaja, sungguh tak sengaja aku melihat tangan si preman itu, ternyata ia tak memiliki jari di tangan kirinya. Ia membalut tangannya dengan sapu tangan bermotif bunga-bunga berwarna pink, sungguh preman yang berhati lembut.
“Kenapa liat-liat?” tanya si preman tiba-tiba. Suara preman sungguh menggetarkan jiwaku.
“Eh anu Bang,” aku gelagapan seperti seseorang yang ketahuan mencuri hati seorang pangeran.
Aku mengalihkan pandanganku. Sesekali melirik ke arah kakak yang ada di depanku. Ia memeluk sebuah buku, sangat tebal, “Gajah Mada, Sumpah Palapa”. “Wew, beraaaaat,” pikirku. Aku akan menghabiskan seluruh masa mudaku untuk membaca buku setebal dan semengerikan itu.
Semua berjalan aman-aman saja hingga tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada bang supir.
Bang supir diam tak menjawab.
“Kenapa berhenti, Bang?” tanyaku lagi pada bang supir.
Seperti karang yang dihempas ombak, bang supir keras dan kokoh duduk di depan, ia tetap diam.
Kediamannya menimbulkan kecurigaan dan takut dalam diriku. Aku menoleh ke arah kakak yang tidak cantik tadi. She has gone! Dia nggak ada. Aku menoleh ke samping kiri, preman shaun the sheep juga hilang. Aku melihat ke arah bang supir. Hilang! Aku sendiri, di dalam angkot, di tengah hutan! “Ya Allah, ada apa ini?” Ini bukan april fools atau hari ulang tahunku. Sungguh ini tidak lucu.
Tiba-tiba angkot bergetar, mengeluarkan suara memekikkan telinga, dan asap putih muncul dari bawah angkot. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin meloncat keluar dari angkot, namun  sesosok makhluk muncul di pintu angkot. Hantu Iwak Peyek! Ia tak sendiri, hantu Indonesian Idol, Jin Tomang Elok, kunti ketawa, poconggg, dan sohib-sohibnya yang lain mengerumuni angkot.

Hening
“Ke Binjai dek?” tanya poconggg.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” aku berteriak sejadi-jadinya.



NB : Cerpen ini, tidak pernah dimuat di harian, bulanan, tahunan manapun. nasib jadi penulis super amatir T.T


2 comments:

  1. Ceritanya nanggung euy..lanjutin lagi donggg.. Biar nampak klimaksnya(?)
    Masukkanlah angkotku nab P24, biar eksis juga wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu udah paling klimaks..
      ha? P24, ga pernah naik armada itu seumur hidup, ga pemes tuh angkot :p

      Delete