“Menyebalkan,” gerutuku dalam hati. Angkot yang aku tunggu sejak setengah jam yang lalu tak kunjung datang. Seharusnya aku sudah berada di rumah, memakai pakaian tidurku yang hangat, dan memandang layar laptopku sekarang jika Jaka menjemputku. Namun kenyataannya aku masih berada di depan bimbelku tercinta dan memakai pakaian sekolah yang aku rasa baunya sungguh aduhai.
“Alya nggak ada temen di rumah,”
ujar Jaka memberi alasan padaku tadi.
Dan terpuruklah aku di sini.
Menanti angkot bernomor 10, berwarna biru yang ketersediaannya di muka bumi
sungguh terbatas. “Oh yeah, sangat sesuatu.”
Jika diurut dari belakang,
sesungguhnya ini semua salah mama. Mama yang memaksaku untuk ikut bimbel,
supaya aku bisa lulus UN dan SNMPTN mengandalkan otakku dan bukan mengharap
makhluk tak berwujud yang datang memberi pencerahan. Kesimpulannya satu, mama
sangat mengerti kemampuan otak anaknya yang terbatas. “Thanks, mom!”“
"Kok belum pulang, Ki?” tanya
Bang Salim, tentor matematikaku tiba-tiba yang berhenti di depanku dengan sepeda
motornya. For your information nih, Bang Salim ini adalah
MWT-nya bimbel aku. Dan MWT itu adalah Most Wanted Tentor. Kalau
bagi aku sih, dia itu 3S. Super ganteng, super pinter, dan super kece. Jika
belum punya Jaka, mungkin aku sudah menjadi seperti siswi-siswi yang lain, wanna
looks perfect jika dia masuk ke kelasku.
“Eh, Bang Salim,” sapaku. “Belum
nih bang, supir angkotnya pada lagi ikut demo anti kenaikan BBM,” jawabku
sembarangan. Sembarangan dan oh tidak, dia tersenyum mendengarnya. Aku rasa aku
terbang selama 5 detik akibat sihirnya itu.
“Nggak mau abang anter?”
What? Anter? Jika itu terjadi, aku
akan diburu oleh para gadis seantero jagad raya. “Ha?” aku sok terkejut,
berusaha menguasai diri agar tidak mengatakan hal yang tak seharusnya. “Nggak
usah bang, terima kasih. Bentar lagi pasti angkotnya datang.” Sungguh, jawaban
terbodoh yang pernah aku keluarkan dari mulutku.
“Kalau gitu abang duluan ya.”
“Iya bang, hati-hati ya.”
Bang salim memacu motornya,
layaknya Jorge Lorenzo, aku membayangkan aku menjadi wanita beruntung yang
dapat menjadi seseorang yang ada diboncengannya. Kesempatan tadi, sungguh tak
masuk di akal aku menolaknya.
“BODOH!” hujatku pada diri sendiri.
Hening dan sepi, mengingatkan aku
pada sang angkot yang tak jua menghampiriku. Ini sudah jam delapan malam, dan
diambang batas wajar. Aku melirik ke kanan dan kiri. Nobody’s here. Okay,
aku mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Berusaha tidak mengingat cerita
hantu iwak peyek yang pernah diceritakan Tarmizi padaku, berusaha melupakan
kisah nyata temanku yang katanya pernah dibawa ke dunia lain oleh makhluk dunia
lain, dan berusaha untuk tidak memikirkan cerita Jaka akan temannya yang pernah
ketemu hantu Indonesia Idol, hantu yang terobsesi jadi Indonesian Idol. Namun
ternyata, aku gagal. Aku mengingat semua itu.
Ketakutan itu mulai timbul dari
perut turun ke kaki, dari perut naik ke tangan, dari perut ke kepala, dari
perut ke semuanya, lalalalalala.
Aku ingat dulu waktu aku masih
kecil, sangat kecil, mama bilang jika kamu takut, tutup mata kamu dan baca doa.
Ide bagus, namun sayang aku lupa doa apa yang waktu itu mama bilang. Dengan
sangat menyesal dan penuh dosa, aku menundukkan kepala dan memejamkan mata serta
mengangkat tangan. “Ya Allah, Ya Tuhanku, aku tahu kita jarang berkomunikasi,
ya Kau tahulah aku bukan hamba-Mu yang rutin lima kali ngelapor tiap
hari, tapi aku ini tetap hamba-Mu kan? Aku boleh minta dong, tolong
datangkanlah sebuah limousine yang paling mahal di bumi-Mu ini
lengkap dengan supir setampan Brad Pitt dan fasilitas mewahnya untuk
menjemputku sekarang. Aku janji, akan melakukan kewajibanku yang lima itu
tanpa paksaan dari siapa pun setiap hari. Amin.”
Aku membuka mata. Melihat ke
kanan, terlihat dua buah lampu terang hemat energi mendekat. “Limousine!
God, You’re so cool!” pikirku dalam hati.
Cahaya itu kian dekat, kian dekat,
kian dekat. Tampaklah si angkot nomer 10 berwarna biru itu. “Alhamdulillah.” Tuhan
selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Tanpa pikir panjang karena
pikiranku memang tak pernah panjang, aku langsung menaiki angkot kesayangan
supir angkotnya itu. Angkot itu sepi, hanya ada aku, dia dan kamu. Dia, seorang
kakak yang tidak cantik yang memakai kaca mata super tebal yang menunjukkan
identitasnya. Dan kamu, preman pasar dengan tato shaun the sheep di
tangan kanannya, “oh so cute.”
Tak sengaja, sungguh tak sengaja
aku melihat tangan si preman itu, ternyata ia tak memiliki jari di tangan
kirinya. Ia membalut tangannya dengan sapu tangan bermotif bunga-bunga berwarna
pink, sungguh preman yang berhati lembut.
“Kenapa liat-liat?” tanya si
preman tiba-tiba. Suara preman sungguh menggetarkan jiwaku.
“Eh anu Bang,” aku gelagapan
seperti seseorang yang ketahuan mencuri hati seorang pangeran.
Aku mengalihkan pandanganku.
Sesekali melirik ke arah kakak yang ada di depanku. Ia memeluk sebuah buku,
sangat tebal, “Gajah Mada, Sumpah Palapa”. “Wew, beraaaaat,”
pikirku. Aku akan menghabiskan seluruh masa mudaku untuk membaca buku setebal
dan semengerikan itu.
Semua berjalan aman-aman saja
hingga tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada bang
supir.
Bang supir diam tak menjawab.
“Kenapa berhenti, Bang?” tanyaku
lagi pada bang supir.
Seperti karang yang dihempas
ombak, bang supir keras dan kokoh duduk di depan, ia tetap diam.
Kediamannya menimbulkan kecurigaan
dan takut dalam diriku. Aku menoleh ke arah kakak yang tidak cantik tadi. She
has gone! Dia nggak ada. Aku menoleh ke samping kiri, preman shaun
the sheep juga hilang. Aku melihat ke arah bang supir. Hilang! Aku
sendiri, di dalam angkot, di tengah hutan! “Ya Allah, ada apa ini?” Ini bukan
april fools atau hari ulang tahunku. Sungguh ini tidak lucu.
Tiba-tiba angkot bergetar,
mengeluarkan suara memekikkan telinga, dan asap putih muncul dari bawah angkot.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin meloncat keluar dari angkot, namun
sesosok makhluk muncul di pintu angkot. Hantu Iwak Peyek! Ia tak sendiri,
hantu Indonesian Idol, Jin Tomang Elok, kunti ketawa, poconggg, dan sohib-sohibnya
yang lain mengerumuni angkot.
Hening
“Ke Binjai dek?” tanya poconggg.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” aku
berteriak sejadi-jadinya.
NB : Cerpen ini, tidak pernah dimuat di harian, bulanan, tahunan manapun. nasib jadi penulis
Ceritanya nanggung euy..lanjutin lagi donggg.. Biar nampak klimaksnya(?)
ReplyDeleteMasukkanlah angkotku nab P24, biar eksis juga wkwk
itu udah paling klimaks..
Deleteha? P24, ga pernah naik armada itu seumur hidup, ga pemes tuh angkot :p