Saya masih ingat ketika saya duduk
di kelas 1 SD, kami diberi tugas oleh Ibu guru untuk menghapal lagu Ibu
Kita Kartini, kata beliau sebentar lagi kita akan menyambut hari
kartini . Lagu yang paling saya hapal waktu itu adalah lagu Garuda
Pancasila, lirik lagu Ibu Kita Kartin tidak menarik
menurut saya ketika itu. Langsung saya gugup dan ketakutan ketika nama saya
dipanggil untuk maju ke depan kelas menyanyikannya. Pelan-pelan saya berusaha
mengingat lagu tersebut. Saya coba dalam hati, dan saya sukses mengingat bait
pertama dalam lagu itu. Mulai lah saya bernyanyi..
Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Dan bait kedua pun, Alhamdulillah
saya mengingatnya.
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Namun telak bagi saya, lidah
saya sungguh keseleo ketika memasuki bait ketiga. Kata ‘wahai’ yang seharusnya
mengawali bait ketiga tidak saya ikut sertakan.
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Saya seakan kembali ke bait
pertama. Saya mulai meracau, entah apa yang saya katakan.
Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Putri Indonesia
Saya semakin tidak karuan. Ibu
guru yang bijaksana dan baik hati akhirnya menyuruh saya duduk kembali dan
menghapal lagu tersebut dengan baik. Saya sungguh malu saat itu, bukan malu
karena tidak hapal lagu nasional – nasionalisme saya saat itu tentu masih
setinggi kutu, namun karena saya tidak hapal lagu sependek itu. Bodoh! Akhirnya
saya kembali ke tempat duduk dengan kepala tertunduk.
Jika saya mengingat-ingat kejadian
itu, saya akan tertawa sendiri membayangkan betapa bodohnya saya yang tidak
dapat menghapal lagu tersebut. Tapi, ya namanya anak-anak.
Namun, beberapa tahun setelah
kejadian itu, saya telah lebih dewasa dan mengerti seutuhnya makna di balik
lagu tersebut, saya mulai menyadari betapa pentingnya semangat Kartini dalam
hidup wanita Indonesia .
Tidak hanya sekedar menghapal lagu Kartini, tapi menanamkan keteladanannya
dalam bersikap dan bertindak.
Dalam bukunya, Habis Gelap
Terbitlah Terang begitu jelas cita-cita dan tuntutannya terhadap
diskriminasi perempuan pada zaman itu. Ibu Kartini, membantu kita memahami
betapa beratnya hidup terkurung, tak mampu bergerak, dijerat oleh sebuah sistem
dan keadaan yang tak menganggap keberadaan sosok wanita. Perempuan hanya
dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan, padahal peran perempuan sangat besar
dalam membangun bangsa.
Jika kita bandingkan dengan masa
sekarang, tentu cita-cita Ibu Kartini telah terwujud dengan semakin jelasnya
peran perempuan dalam sendi-sendi kehidupan. Mulai dari menjadi cleaning
service, hingga menjadi pemangku jabatan di pemerintahan. Namun, apa
semuanya sudah berada pada posisinya? Apa kabar dengan globalisasi dan
moderniasasi? Apa kabar dengan westernisasi yang masuk dengan bebas dan
menggerogoti budaya dan adat bangsa ini?
Tantangan perempuan zaman sekarang
bukan berupa penindasan, kekangan, dan larangan mendapatkan hak yang sama
dengan kaum laki-laki. Namun, lebih kompleks dengan semakin pesatnya
perkembangan zaman. Segala macam budaya terbang bebas dan berkeliaran di setiap
pelosok pertiwi, melunturkan jati diri bangsa. Tidak hanya tantangan dari luar,
justru dari dalam diri sendiri lah yang terbesar.
Sungguh ironis. Ketika peringatan
hari Kartini digembar-gemborkan dengan berpakaian adat dan segala keriuhannya,
bangsa ini tak melihat betapa telah turunnnya nilai sosial dan budaya Indonesia .
Sejatinya, kita harus merubah pola pikir akan peringatan Hari Kartini.
Tidak hanya tentang berkebaya, namun merealisasikan semangat peejuangan
dan cita-cita Kartini dalam membangun dan mencerdaskan bangsa agar siap selalu
dalam menghadapi era globalisasi tanpa adanya pengaruh budaya asing yang tak
sesuai dengan cita-cita emansipasi itu sendiri.
Sebuah koreksi bagi kita
perempuan..
Proud to be a girl!!!
Proud to be Indonesia !!!
|
Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri
Harum namanya
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi
|
Selamat
Hari Kartini perempuan Indonesia
^_^
No comments:
Post a Comment