Tissa menekan tombol handphonenya, mengetikkan
beberapa kata yang kemudian dikirim kepada Reza. Hanya butuh beberapa menit
pesan itu berbalas dengan deringan panggilan.
“Assalamualaikum,” sapa suara dari
seberang.
“Waalaikumsalam,” suara Tissa
terisak menjawab
“Jangan takut, Sa. Ingat
remah-remah roti yang aku ceritakan? Ikuti saja, dankau akan tiba di rumah,”
ujar Reza menenangkan.
“Aku tidak takut, Za. Aku hanya
bingung mengapa aku menjadi wanita hina seperti ini sekarang.” Suara Tissa kian
berat. Kesedihan akan hidup yang ia alami sungguh mengubah riangnya menjadi
duka. Pindah ke Ibu kota
adalah petaka baginya.
“Kau tak hina, Sa. Kau manusia
biasa, dan kesalahan adalah tempatnya manusia. Belum telat, Sa. Pulanglah dan
kembali menjadi Tissa yang dahulu,” Reza bertutur lembut, begitu ia merindukan
kekasihnya itu.
“Jika aku pulang, bagaimana
keluargaku? Akankah mereka menerimaku kembali setelah semua yang aku lakukan?”
“Ada aku, aku akan menemanimu menghadapi
semua.”
“Kau masih mencintaiku?” Tissa
bertanya penuh harap.
“Demi ibu yang mempertaruhkan
nyawanya demi melahirkanku, aku mencintaimu yang dulu, hari ini, esok, lusa,
hingga kapanpun. Seburuk apapun, sejahat apapun dirimu, aku mencintaimu. Aku
mencintaimu, Tissa Putri Bachtiar.”
Tangis Tissa kian keras, “aku akan
pulang.”
“Dan aku akan menjadi yang pertama
yang kau lihat ketika pulang.”
Reza ikut menangis dan malam itu
hanya untuk mereka.
No comments:
Post a Comment