Aku menangis memandangi punggungmu
yang kian menjauh. Sesaat aku berharap kau berbalik, memohon ampun, dan
menyatukan kembali mozaik-mozaik yang telah pecah. Namun, rasa benci ini lebih
besar dari sebelumnya. Pengharapan dan mimpi yang dulu kita bangun, hancur tepat
saat kau melangkah pergi dari rumah ini. Kau tahu seberapa besar aku ingin
menamparmu saat kau lebih memilih tuk mengejar mimpimu, bukan mimpiku dan
mimpimu.
Menunggu adalah hal yang
menyebalkan. Aku benci itu. Kau pun juga. “Jangan biarkan aku menunggu terlalu
lama akan jawaban cintamu. Aku yakin kau juga mencintaiku. Jangan biarkan aku
pergi dan mengejar wanita lain yang tak lebih baik darimu. Karena aku tak ingin
yang lain, hanya kau. Jawab esok, dan tepat pukul 12 siang di sini,” ujarmu
saat memintaku tuk jadi kekasihmu. Aku tersipu kau memberikanku sebuah kalung
bertuliskan namamu dan namaku hari itu. Namun kau sungguh menjengkelkan.
Memaksaku menjawab hal yang mungkin akan menentukan masa depanku 10 tahun
kemudian dengan batas waktu singkat yang kau tentukan sendiri tanpa
perundinganku. Aku ingin sekali menjawab ‘Tidak’, tapi kau benar aku
mencintaimu. Dan cinta itu telah menyeretku dalam penantian panjang yang akan
aku jalani. Ah, tidak ! Aku tak mau !
Aku mempercayaimu lebih dari saat
kau bilang cinta padaku. Aku makin mempercayaimu saat hari pertama kau
mengajakku pindah ke rumah ini, rumah kita. Aku percaya kaulah pangeran masa kecilku
yang sering didongengkan Bunda Ibet dulu. Kaulah orang yang akan mengangkat
kisah suramku menjadi cahaya kehidupan baru yang menyinarimu. Dan aku sungguh
sial, kebahagiaan bukanlah akhir dari kisahku.
“Aku harus pergi,” katamu di siang
itu, hari ulang tahunku. Aku ingin menamparmu. Menghujatmu dengan kata-kata
yang sering aku dengar dari ayah ketika bertengkat dengan ibu. Tapi aku justru
menangis dan memohon padamu untuk tak pergi. Tapi mengapa kau tetap pergi?
Apakah lukisanku tak menarik lagi bagimu? Sebesar itukah impianmu hingga mengalahkan
rasa cintamu padaku?
Aku besumpah demi ayah yang
menyayat tangan wanita yang melahirkanku, ketika kau pulang aku tak akan di
sini.
No comments:
Post a Comment