Pages

Tuesday, September 25, 2012

Aku Mencintaimu, Tissa (FF2in1)


 Tissa menekan tombol handphonenya, mengetikkan beberapa kata yang kemudian dikirim kepada Reza. Hanya butuh beberapa menit pesan itu berbalas dengan deringan panggilan.
“Assalamualaikum,” sapa suara dari seberang.
“Waalaikumsalam,” suara Tissa terisak menjawab
“Jangan takut, Sa. Ingat remah-remah roti yang aku ceritakan? Ikuti saja, dankau akan tiba di rumah,” ujar Reza menenangkan.
“Aku tidak takut, Za. Aku hanya bingung mengapa aku menjadi wanita hina seperti ini sekarang.” Suara Tissa kian berat. Kesedihan akan hidup yang ia alami sungguh mengubah riangnya menjadi duka. Pindah ke Ibu kota adalah petaka baginya.
“Kau tak hina, Sa. Kau manusia biasa, dan kesalahan adalah tempatnya manusia. Belum telat, Sa. Pulanglah dan kembali menjadi Tissa yang dahulu,” Reza bertutur lembut, begitu ia merindukan kekasihnya itu.
“Jika aku pulang, bagaimana keluargaku? Akankah mereka menerimaku kembali setelah semua yang aku lakukan?”
Ada aku, aku akan menemanimu menghadapi semua.”
“Kau masih mencintaiku?” Tissa bertanya penuh harap.
“Demi ibu yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku, aku mencintaimu yang dulu, hari ini, esok, lusa, hingga kapanpun. Seburuk apapun, sejahat apapun dirimu, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Tissa Putri Bachtiar.”
Tangis Tissa kian keras, “aku akan pulang.”
“Dan aku akan menjadi yang pertama yang kau lihat ketika pulang.”
Reza ikut menangis dan malam itu hanya untuk mereka.

Meski Menjadi Yang Kedua (FF2in1)


Sedang apa cinta? Masihkah kau merindu atau telah lupa akan aku? Masihkah kau menunggu dan menantiku kembali pulang atau telah ada wanita lain yang membuatmu berdebar saat dengannya?
“Kau  tak boleh pergi,” pintamu di senja itu.
“Ini cita-citaku, mengertilah.”
“Kau yang harus mengerti aku. Semua telah memintaku untuk mengakhiri masa lajangku, dan aku tak mau yang lain kecuali denganmu?”
“Tapi aku harus pergi, Nal. Tunggu aku, aku akan pulang dan kembali menjadi calon istri yang membanggakan bagimu. Aku mencintaimu.” Kataku sambil berlalu darimu.
Aku tak pernah berpikir seperti ini sakitnya tanpamu. Aku menjadi sosok bisu yang tak berbicara seperlunya. Kau tahu seperti apa aku ketika berceloteh riang denganmu, kan? Aku menjadi batu di keramaian dan tersudut dalam pojok gelap dalam rumah. Aku ingin kau datang dan memberi kecupan padaku. Mengajakku pulang dan meneruskan janji pinangan itu. Aku ingin pulang. Aku ingin menjadi wanitamu, meskipun harus menjadi yang kedua setelah pilihan orang tuamu. Mungkinkah Nal?

Monday, September 17, 2012

Aku Tak Lagi Di Sini


Aku menangis memandangi punggungmu yang kian menjauh. Sesaat aku berharap kau berbalik, memohon ampun, dan menyatukan kembali mozaik-mozaik yang telah pecah. Namun, rasa benci ini lebih besar dari sebelumnya. Pengharapan dan mimpi yang dulu kita bangun, hancur tepat saat kau melangkah pergi dari rumah ini. Kau tahu seberapa besar aku ingin menamparmu saat kau lebih memilih tuk mengejar mimpimu, bukan mimpiku dan mimpimu.
Menunggu adalah hal yang menyebalkan. Aku benci itu. Kau pun juga. “Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama akan jawaban cintamu. Aku yakin kau juga mencintaiku. Jangan biarkan aku pergi dan mengejar wanita lain yang tak lebih baik darimu. Karena aku tak ingin yang lain, hanya kau. Jawab esok, dan tepat pukul 12 siang di sini,” ujarmu saat memintaku tuk jadi kekasihmu. Aku tersipu kau memberikanku sebuah kalung bertuliskan namamu dan namaku hari itu. Namun kau sungguh menjengkelkan. Memaksaku menjawab hal yang mungkin akan menentukan masa depanku 10 tahun kemudian dengan batas waktu singkat yang kau tentukan sendiri tanpa perundinganku. Aku ingin sekali menjawab ‘Tidak’, tapi kau benar aku mencintaimu. Dan cinta itu telah menyeretku dalam penantian panjang yang akan aku jalani. Ah, tidak ! Aku tak mau !
Aku mempercayaimu lebih dari saat kau bilang cinta padaku. Aku makin mempercayaimu saat hari pertama kau mengajakku pindah ke rumah ini, rumah kita. Aku percaya kaulah pangeran masa kecilku yang sering didongengkan Bunda Ibet dulu. Kaulah orang yang akan mengangkat kisah suramku menjadi cahaya kehidupan baru yang menyinarimu. Dan aku sungguh sial, kebahagiaan bukanlah akhir dari kisahku.
“Aku harus pergi,” katamu di siang itu, hari ulang tahunku. Aku ingin menamparmu. Menghujatmu dengan kata-kata yang sering aku dengar dari ayah ketika bertengkat dengan ibu. Tapi aku justru menangis dan memohon padamu untuk tak pergi. Tapi mengapa kau tetap pergi? Apakah lukisanku tak menarik lagi bagimu? Sebesar itukah impianmu hingga mengalahkan rasa cintamu padaku?
Aku besumpah demi ayah yang menyayat tangan wanita yang melahirkanku, ketika kau pulang aku tak akan di sini.

Aku Telah Mati Sal


Kau ingat mawar yang kau berikan di malam itu? Aku meletakkanya dalam vas pemberian Icha, sahabatku. Vas itu diberikannya saat ulang tahunku yang ke-17. Ia membuatnya sendiri dari tanah liat. Aku tak tahu dari mana ia belajar membuat vas sebagus itu saat itu. Ia merahasiakannya hingga tahun baru kemarin, saat ia mengenalkanmu padaku. Kaulah sang maestro itu.
Aku hidup dalam angan memilikimu sejak hari itu. Kau tahu, hujan yang mengguyur Bandung kemarin? Ini mengingatkanku tentang tanggal 20 Februari saat kau dan aku berlarian dalam hujan menuju galerimu. Sungguh seperti komik yang pernah aku baca, kau membuat jaketmu sebagai payung untuk kita berdua. Ah, aku tersenyum pilu mengenangnya.
Aku merindukanmu.
Aku tak mendengar kabar Icha sejak 20 Mei, Sal. Begitupun denganmu. Aku membuang kalian ! Aku rasa demikian. Aku tak tahu ini penyesalan atau bukan. Aku ingin jauh darimu saat itu. Aku marah. Aku kecewa. Kau tahu ibuku adalah korban pengkhianatan kan, Sal? Aku telah menceritakan padamu malam di mana aku hampir kehilangan ibu setelah ia melihat ayah bercumbu dengan bawahannya di kantor. Aku benci pengkhianatan, Sal. Kau tahu jelas. Dan aku merasakan yang dirasakan ibu saat malam ke-18 di bulan Mei itu, sal. Kalian membuat seakan aku yang berkhianat, seakan aku yang bersalah. Seakan aku orang ketiga diantara kalian. Kau yang salah, Sal. Kau menginginkan aku sekaligus Icha.
Aku tak pernah merelakanmu. Aku tak ingin kau pergi. Ibu mengutukmu atas semua yang terjadi padaku sekarang. Kau tahu  patung lelaki tua yang kau tunjukkan saat hari kau memintaku untuk menjadi kekasihmu? Aku lebih kurus dari dia, Sal. Aku lemah. Aku tak bernafsu pada segala hal yang disodorkan ibu. Aku tak ingin yang lain. Aku menginginkanmu. Ibu begitu membencimu, Sal. “Kau bodoh!” ibu menghujatku. “Dia lelaki bajingan!” ibu menghujatmu.
Tapi aku membencimu, Sal. Aku ingin kau mati ketika melihat bibirmu menyatu dengan bibir Icha. Aku membenci Icha melebihimu. Dan aku mencintaimu seperti aku ingin mati dalam pisau yang sama dengan yang aku hunuskan padamu. Aku telah mati, Sal.