Pages

Saturday, April 21, 2012

Lunturnya Semangat Kartini

Saya masih ingat ketika saya duduk di kelas 1 SD, kami diberi tugas oleh Ibu guru untuk menghapal lagu Ibu Kita Kartini, kata beliau sebentar lagi kita akan menyambut hari kartini . Lagu yang paling saya hapal waktu itu adalah lagu Garuda Pancasila, lirik lagu Ibu Kita Kartin tidak menarik menurut saya ketika itu. Langsung saya gugup dan ketakutan ketika nama saya dipanggil untuk maju ke depan kelas menyanyikannya. Pelan-pelan saya berusaha mengingat lagu tersebut. Saya coba dalam hati, dan saya sukses mengingat bait pertama dalam lagu itu. Mulai lah saya bernyanyi..
Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Dan bait kedua pun, Alhamdulillah saya mengingatnya.
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Namun telak bagi  saya, lidah saya sungguh keseleo ketika memasuki bait ketiga. Kata ‘wahai’ yang seharusnya mengawali bait ketiga tidak saya ikut sertakan.

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Saya seakan kembali ke bait pertama. Saya mulai meracau, entah apa yang saya katakan.
Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Putri Indonesia
Saya semakin tidak karuan. Ibu guru yang bijaksana dan baik hati akhirnya menyuruh saya duduk kembali dan menghapal lagu tersebut dengan baik. Saya sungguh malu saat itu, bukan malu karena tidak hapal lagu nasional – nasionalisme saya saat itu tentu masih setinggi kutu, namun karena saya tidak hapal lagu sependek itu. Bodoh! Akhirnya saya kembali ke tempat duduk dengan kepala tertunduk.
Jika saya mengingat-ingat kejadian itu, saya akan tertawa sendiri membayangkan betapa bodohnya saya yang tidak dapat menghapal lagu tersebut. Tapi, ya namanya anak-anak.
Namun, beberapa tahun setelah kejadian itu, saya telah lebih dewasa dan mengerti seutuhnya makna di balik lagu tersebut, saya mulai menyadari betapa pentingnya semangat Kartini dalam hidup wanita Indonesia. Tidak hanya sekedar menghapal lagu Kartini, tapi menanamkan keteladanannya dalam bersikap dan bertindak.
Dalam bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang begitu jelas cita-cita dan tuntutannya terhadap diskriminasi perempuan pada zaman itu. Ibu Kartini, membantu kita memahami betapa beratnya hidup terkurung, tak mampu bergerak, dijerat oleh sebuah sistem dan keadaan yang tak menganggap keberadaan sosok wanita. Perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan, padahal peran perempuan sangat besar dalam membangun bangsa.
Jika kita bandingkan dengan masa sekarang, tentu cita-cita Ibu Kartini telah terwujud dengan semakin jelasnya peran perempuan dalam sendi-sendi kehidupan. Mulai dari menjadi cleaning service, hingga menjadi pemangku jabatan di pemerintahan. Namun, apa semuanya sudah berada pada posisinya? Apa kabar dengan globalisasi dan moderniasasi? Apa kabar dengan westernisasi yang masuk dengan bebas dan menggerogoti budaya dan adat bangsa ini?
Tantangan perempuan zaman sekarang bukan berupa penindasan, kekangan, dan larangan mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun, lebih kompleks dengan semakin pesatnya perkembangan zaman. Segala macam budaya terbang bebas dan berkeliaran di setiap pelosok pertiwi, melunturkan jati diri bangsa. Tidak hanya tantangan dari luar, justru dari dalam diri sendiri lah yang terbesar.
Sungguh ironis. Ketika peringatan hari Kartini digembar-gemborkan dengan berpakaian adat dan segala keriuhannya, bangsa ini tak melihat betapa telah turunnnya nilai sosial dan budaya Indonesia. Sejatinya, kita harus merubah pola pikir akan peringatan Hari Kartini.  Tidak  hanya tentang berkebaya, namun merealisasikan semangat peejuangan dan cita-cita Kartini dalam membangun dan mencerdaskan bangsa agar siap selalu dalam menghadapi era globalisasi tanpa adanya pengaruh budaya asing yang tak sesuai dengan cita-cita emansipasi itu sendiri.



Sebuah koreksi bagi kita perempuan..
Proud to be a girl!!!
Proud to be Indonesia!!!






Ibu kita Kartini
Putri Sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai Ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Selamat Hari Kartini perempuan Indonesia ^_^






Friday, April 20, 2012

Ada Apa Dengan Sang Dokter?



“Bagi Valentino keadaan ini rasanya seperti pergi ke bioskop dimana pertunjukan dimulai tanpa melihat ada sosok Rossi yang turut berperan dalam film tersebut, Rossi sedang berada di sebuah ruangan gelap (bioskop) dan tak dapat melihat apapun. Dia tidak tahu ke mana akan pergi dan merasa ketakutan. Sebuah perasaan yang buruk yang hanya bertahan selama beberapa detik, sebelum dirinya akan merasa terbiasa berada di dalam kegelapan dan kontur ruangan tersebut akan terasa lebih terang. Rossi perlu untuk dapat melihat seberkas cahaya dan seharusnya tidak merasa ketakutan saat berada di kegelapan untuk saat ini.”
Begitulah ilustrasi yang diberikan oleh Dr. Claudio Costa, pendiri Clinica Mobile mencoba mendeskripsikan kondisi mental yang tengah dirasakan oleh The Doctor usai mendapat hasil buruk di GP Qatar lalu.

Awalnya  sedikit bingung ketika membaca ilustrasi yang diungkapkan psikolog yang begitu mengenal karakter rider MotoGP selama 3 dekade tersebut. Apalagi kata-katanya yang sedikit berlebihan dengan menggunakan kata ‘ketakutan’ seakan Rossi tengah tertekan dan depresi berat. Namun, akhirnya saya  mengerti ketika saya  membacanya lebih dari tiga kali. Rossi sedang galau. Ia galau akan motornya yang tak kunjung membaik. Ia galau akan timnya yang tak jua mengabulkan permintaannya untuk tidak lagi memicu understeer yang selama ini menjadi kendalanya dalam menjinakkan Ducati miliknya. Ia galau karena banyaknya pengamat, pers, fans, rider, bahkan orang-orang sok tau yang tak mengetahui masalahnya yang sebenarnya mengomentari bahkan menghujat dirinya. Dan ia galau karena ia tak kunjung jua naik podium.
Mungkin empat hal itu yang menjadi kegalauan utama The Doctor. Dan ini pun sungguh terlihat jelas dari komentar Rossi kepada pers usai GP Qatar lalu. “Jika kami bekerja dengan baik maka kami bisa bertarung untuk posisi kelima atau keenam. Saya tak tertarik untuk itu. Jika Anda harus bertarung untuk posisi lima maka sedikit demi sedikit Anda akan kehilangan antusiasme.”
Sebenarnya Vale balapan untuk apa? Untuk sekedar  podium atau membuktikan eksistensinya sebagai ayam tua yang masih dapat bertelur? Kalau dilihat dari tanggapannya dan performa saat GP Qatar lalu, tentu hasil yang menjadi incaran Vale. Jika dibandingkan dengan teman satu timnya, Nicky Hayden bekerja dengan lebih baik. Bermain dengan caranya, keep head down, dan tidak neko-neko. Dan itu tidak dilakukan Rossi. Padahal motor dan masalah yang dihadapi mereka adalah sama, dan seharusnya Rossi bertanya pada dirinya sendiri ‘ada apa denganku?’ melihat kondisi Hayden yang mampu berada di depannya.
Tak ada seorangpun yang meragukan bakat Vale, ia menakjubkan! Namun, bakatnyalah yang kini menjadi beban besar baginya untuk menjinakkan Desmosedici GP12. Mungkin Rossi berpikir, “Hey, aku telah mendapatkan banyak gelar, menjuarai banyak seri, memenangkan banyak piala, dan sungguh bukan tugasku untuk memenangkan tempat tanpa podium. Dan jika aku mendapat motor seperti Yamaha atau Honda, tentu aku akan berada di atas”.
Namun, kenyataan tidak semanis angan-angan. Bukan saatnya bagi Vale melemparkan handuk pada Ducati yang telah berkorban banyak deminya, menarik tim dari World Superbike, bahkan seluruh pemasukan demi memberikan yang terbaik bagi The Doctor. Mencairkan suasana dalam paddock dan merancang motor yang lebih kompetitif serta tidak meributkan masalah understeer lagi harus dilakukan Rossi.
Sungguh seperti bukan Rossi. Rossi seakan-akan bukan seperti dirinya yang biasa. Menyalahkan tim dan menuntut banyak tanpa memberi lebih sungguh tak terlihat seperti Rossi. Rossi seperti sedang dirasuki sosok monster yang jahat dan meggerogoti setiap sel-sel syaraf dalam tubuhnya yang membuat ia sulit untuk tersenyum seperti cirri khasnya selama ini. Dan monster jahat itu sangat ingin menjatuhkannya. Sedangkan jiwa Rossi yang asli sedang melakukan perjalanan astral untuk melakukan reuni bersama sahabatnya Almarhum Marco Simoncelli.
Ah, semoga Rossi segera kembali dari mimpi buruknya dan menyadari, “Hey, where I’ve been this long time??”
Sebuah pertaruhan mahadahsyat, demi gengsi, harga diri, talenta, dan tahta.



Monday, April 9, 2012

Angkot



“Menyebalkan,” gerutuku dalam hati. Angkot yang aku tunggu sejak setengah jam yang lalu tak kunjung datang. Seharusnya aku sudah berada di rumah, memakai pakaian tidurku yang hangat, dan memandang layar laptopku sekarang jika Jaka menjemputku. Namun kenyataannya aku masih berada di depan bimbelku tercinta dan memakai pakaian sekolah yang aku rasa baunya sungguh aduhai.
“Alya nggak ada temen di rumah,” ujar Jaka memberi alasan padaku tadi.
Dan terpuruklah aku di sini. Menanti angkot bernomor 10, berwarna biru yang ketersediaannya di muka bumi sungguh terbatas. “Oh yeah, sangat sesuatu.”
Jika diurut dari belakang, sesungguhnya ini semua salah mama. Mama yang memaksaku untuk ikut bimbel, supaya aku bisa lulus UN dan SNMPTN mengandalkan otakku dan bukan mengharap makhluk tak berwujud yang datang memberi pencerahan. Kesimpulannya satu, mama sangat mengerti kemampuan otak anaknya yang terbatas. “Thanks, mom!”“
"Kok belum pulang, Ki?” tanya Bang Salim, tentor matematikaku tiba-tiba yang berhenti di depanku dengan sepeda motornya. For your information nih, Bang Salim ini adalah MWT-nya bimbel aku. Dan MWT itu adalah Most Wanted Tentor. Kalau bagi aku sih, dia itu 3S. Super ganteng, super pinter, dan super kece. Jika belum punya Jaka, mungkin aku sudah menjadi seperti siswi-siswi yang lain, wanna looks perfect jika dia masuk ke kelasku.
“Eh, Bang Salim,” sapaku. “Belum nih bang, supir angkotnya pada lagi ikut demo anti kenaikan BBM,” jawabku sembarangan. Sembarangan dan oh tidak, dia tersenyum mendengarnya. Aku rasa aku terbang selama 5 detik akibat sihirnya itu.
“Nggak mau abang anter?”


What? Anter? Jika itu terjadi, aku akan diburu oleh para gadis seantero jagad raya. “Ha?” aku sok terkejut, berusaha menguasai diri agar tidak mengatakan hal yang tak seharusnya. “Nggak usah bang, terima kasih. Bentar lagi pasti angkotnya datang.” Sungguh, jawaban terbodoh yang pernah aku keluarkan dari mulutku.
“Kalau gitu abang duluan ya.”
“Iya bang, hati-hati ya.”
Bang salim memacu motornya, layaknya Jorge Lorenzo, aku membayangkan aku menjadi wanita beruntung yang dapat menjadi seseorang yang ada diboncengannya. Kesempatan tadi, sungguh tak masuk di akal aku menolaknya.
“BODOH!” hujatku pada diri sendiri.
Hening dan sepi, mengingatkan aku pada sang angkot yang tak jua menghampiriku. Ini sudah jam delapan malam, dan diambang batas wajar. Aku melirik ke kanan dan kiri. Nobody’s here. Okay, aku mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Berusaha tidak mengingat cerita hantu iwak peyek yang pernah diceritakan Tarmizi padaku, berusaha melupakan kisah nyata temanku yang katanya pernah dibawa ke dunia lain oleh makhluk dunia lain, dan berusaha untuk tidak memikirkan cerita Jaka akan temannya yang pernah ketemu hantu Indonesia Idol, hantu yang terobsesi jadi Indonesian Idol. Namun ternyata, aku gagal. Aku mengingat semua itu.
Ketakutan itu mulai timbul dari perut turun ke kaki, dari perut naik ke tangan, dari perut ke kepala, dari perut ke semuanya, lalalalalala.
Aku ingat dulu waktu aku masih kecil, sangat kecil, mama bilang jika kamu takut, tutup mata kamu dan baca doa. Ide bagus, namun sayang aku lupa doa apa yang waktu itu mama bilang. Dengan sangat menyesal dan penuh dosa, aku menundukkan kepala dan memejamkan mata serta mengangkat tangan. “Ya Allah, Ya Tuhanku, aku tahu kita jarang berkomunikasi, ya Kau tahulah aku bukan hamba-Mu yang rutin lima kali ngelapor tiap hari, tapi aku ini tetap hamba-Mu kan? Aku boleh minta dong, tolong datangkanlah sebuah limousine yang paling mahal di bumi-Mu ini lengkap dengan supir setampan Brad Pitt dan fasilitas mewahnya untuk menjemputku sekarang. Aku janji, akan melakukan kewajibanku yang lima itu tanpa paksaan dari siapa pun setiap hari. Amin.”
Aku membuka mata. Melihat ke kanan, terlihat dua buah lampu terang hemat energi mendekat. “Limousine! God, You’re so cool!” pikirku dalam hati.
Cahaya itu kian dekat, kian dekat, kian dekat. Tampaklah si angkot nomer 10 berwarna biru itu. “Alhamdulillah.” Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
Tanpa pikir panjang karena pikiranku memang tak pernah panjang, aku langsung menaiki angkot kesayangan supir angkotnya itu. Angkot itu sepi, hanya ada aku, dia dan kamu. Dia, seorang kakak yang tidak cantik yang memakai kaca mata super tebal yang menunjukkan identitasnya.  Dan kamu, preman pasar dengan tato shaun the sheep di tangan kanannya, “oh so cute.”
Tak sengaja, sungguh tak sengaja aku melihat tangan si preman itu, ternyata ia tak memiliki jari di tangan kirinya. Ia membalut tangannya dengan sapu tangan bermotif bunga-bunga berwarna pink, sungguh preman yang berhati lembut.
“Kenapa liat-liat?” tanya si preman tiba-tiba. Suara preman sungguh menggetarkan jiwaku.
“Eh anu Bang,” aku gelagapan seperti seseorang yang ketahuan mencuri hati seorang pangeran.
Aku mengalihkan pandanganku. Sesekali melirik ke arah kakak yang ada di depanku. Ia memeluk sebuah buku, sangat tebal, “Gajah Mada, Sumpah Palapa”. “Wew, beraaaaat,” pikirku. Aku akan menghabiskan seluruh masa mudaku untuk membaca buku setebal dan semengerikan itu.
Semua berjalan aman-aman saja hingga tiba-tiba angkot berhenti mendadak.
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada bang supir.
Bang supir diam tak menjawab.
“Kenapa berhenti, Bang?” tanyaku lagi pada bang supir.
Seperti karang yang dihempas ombak, bang supir keras dan kokoh duduk di depan, ia tetap diam.
Kediamannya menimbulkan kecurigaan dan takut dalam diriku. Aku menoleh ke arah kakak yang tidak cantik tadi. She has gone! Dia nggak ada. Aku menoleh ke samping kiri, preman shaun the sheep juga hilang. Aku melihat ke arah bang supir. Hilang! Aku sendiri, di dalam angkot, di tengah hutan! “Ya Allah, ada apa ini?” Ini bukan april fools atau hari ulang tahunku. Sungguh ini tidak lucu.
Tiba-tiba angkot bergetar, mengeluarkan suara memekikkan telinga, dan asap putih muncul dari bawah angkot. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin meloncat keluar dari angkot, namun  sesosok makhluk muncul di pintu angkot. Hantu Iwak Peyek! Ia tak sendiri, hantu Indonesian Idol, Jin Tomang Elok, kunti ketawa, poconggg, dan sohib-sohibnya yang lain mengerumuni angkot.

Hening
“Ke Binjai dek?” tanya poconggg.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” aku berteriak sejadi-jadinya.



NB : Cerpen ini, tidak pernah dimuat di harian, bulanan, tahunan manapun. nasib jadi penulis super amatir T.T


Friday, April 6, 2012

Hanya Kau


Aku mematikan lampu 
Menarik selimut

Menutupi kepedihan
Menutupi luka

Dalam gelap
Kulihat engkau
Berdiri tegap
Memegang bendera
Menyandang gelar

Dipayungi sosok cantik sang bidadari
Bergegas menunggangi pacuan
Tuk berlari kencang
Mengelilingi lintasan
Beradu dengan waktu dan kecepatan



Mata terpejam
Riuh tepuk tangan menghilang
Kau kian cepat
Menerjang panasnya sepang
Hingga hilang dari pandangan

Tak ada yang sepertimu

Hanya Kau..



Aku baru saja beberapa menit yang lalu menonton sport7 malam special MOTOGP 2012. Dan ada special moment Marco Sinomcellinya. Aku menangis, sedih.  Masih terbayang dibenakku permainan sic yang brutal dan ugalan namun tetap indah dan menghibur. I'm not his big fan, but I'm his FAN. Dan aku salah satu penyumbang air mata ketika ia pergi saat itu. Selama lebih dari dua bulan aku besedih karenanya. Aku ingat teman-temanku menyemangatiku agar tidak terlalu larut dan menyuruhku mengganti profile pictureku di facebook yang pada saat itu aku gunakan adalah foto Marco. Hancur sekali rasanya ketika aku mengingatnya.

Kenapa oh kenapa.. mengingat sosoknya seakan menggali kenangan yang menghilang tanpa ucapan selamat tinggal. Will never forget him, my lovely badboy.. Super Sic