Pages

Monday, July 1, 2013

Di SurgaNya Kita akan Bertemu, Ayah


1 Juni 2013, aku merebahkan tubuh gempal ini ke kasur, menarik napas dalam-dalam, berujar doa dan pengharapan untuk esok yang lebih indah, kemudian terlelap hingga hari kedua di bulan ini tiba. Seperti biasa, Kak Ratna, temen satu kosan membangunkanku untuk solat subuh. Aku yang terbangun dengan keadaan menggigil masih mengerjap-ngerjapkan mata dan mengusap-usap kedua tangan agar hilang dingin yang kubenci itu. Hingga sesaat kemudian, aku bergegas menuju kamar mandi, berwudhu dan solat. Aku sempatkan tuk tilawah satu lembar. Minggu pagi, masih gelap, tak ada kuliah, tak ada agenda, aku masih menumpuk kantuk di pelupuk mata akibat agenda X-Factor BKI kemarin. Aku memutuskan tuk terlelap lagi.
Sekitar pukul 07.00, aku terbangun karena hpku berdering berkali-kali. Panggilan dari abangku, Rizky Fauzan. Setengah tersadar aku mengangkat panggilan itu.
”Asslamualaykum be, bangun dek, bangun ya,” seru seseorang dari seberang.
“Walaykumussalam, ada apa Bang?” aku sungguh masih melayang, belum sepenuhnya sadar.

”Tenang ya dek, sabar, ayah udah nggak ada.”
Aku mengucek-kucek mata, memperbaiki posisi berbicara dengan bangkit dari kasur, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja beliau ucapkan.
“Apa maksdunya?” tanyaku yang tak yakin dengan perkataannya barusan.
“Ayah udah nggak ada dek, sabar ya..” abangku berbicara lagi dan aku tak ingat kata-kata selanjutnya kecuali aku yang tanpa berkata apa-apa kecuali menangis sesenggukan dan telepon pun mati.
Aku menangis sejadi-jadinya, apa yang baru saja aku dengar? Benarkah? Dustakah? Nggak mungkin beliau telah pergi, malam kemarin ia baru saja meneleponku, aku masih bercerita tentang perjalanan naik damri ke bandung padanya, nggak mungkin! Aku tak Percaya!
Dering hp kembali berbunyi, Umi!
“Sayang, tenang ya, tenang..” umi hanya mengatakan itu, aku rasa aku telah pingsan ketika itu. Aku tak ingat umi berkata apalagi. Linglung, gamang, mata sembab dan aku tergolek lemas di atas kasur. Ya Allah, mengapa?
Aku menarik napas, melihat layar hp dan masih tersambung pada Umi.
“Udah ya, sekarang Bella tenang, pesen tiket dan insyaAllah jika di sini dapat menunggu akan kita tunggu” ujar umi, memintaku tuk segera pulang.
“iya mi..” aku tak ada dapat berkata banyak, semua tersumbat, aku tak sempat bertanya bagaimana kejadian lengkapnya, aku hanya ingin segera pulang.
Aku kemudian menenangkan pikiran, istighfar, dan membuka laptop melihat jadwal penerbangan ke Bandung secepatnya. Lionair jam 10.20! Aku menelepon custumer service lionair dan mereka telah menutup pemesanan tiket untuk penerbangan itu dan hanya ada satu penerbangan lagi untuk hari ini jam empat sore. Aku mengiyakan dan membawa apa saja yang terlinatas di mataku ke dalam ransel, bergegas pergi ke atm untuk membayar biaya reservasinya.
Dalam kalut, aku memberi kabar kepada murrobi lewat lewat telepon. Aku tak ingin meninggalkan Jatinangor tanpa kabar berita. Dan berita kemalangan ini tersebar cepat hingga Dekan Fakultasku pun ikut memberikan kata-kata belasungkawa padaku.
Dian, Mamih Selfa, Mbak Tursi, Kak Shella, dan Kak Kiky menemaniku sebelum aku berangkat ke Bandara. Mbak Tursi membelikanku semangkuk es pisang ijo yang kemudian kami lanjutkan dengan makan, mereka memaksaku tuk makan. Kak Selfa mengaku di jauh hari setelah hari itu bahwa aku terlihat begitu dewasa menghadapi ini. Mengapa? Sebab aku terhutang janji pada umi. Sebelum pergi ke ATM umi menelepon lagi hanya untuk mengatakan satu kalimat, “janji ya sama Umi, udah dulu nangisnya, ntar bella pingsan.” Dan aku benci jika aku harus tak menepati janji pada umi.
Waktu berlalu dan menyeretku hingga menuju Bandra Husein Sastranegara. Dengan berpuluh sms belasungkawa yang masuk padaku, aku menunggu pesawatku tiba hingga telepon dari abang yang mengabarkan bahwa mereka tak dapat menungguku, ayah harus segera dikebumikan. Dan aku menerimanya dengan degup jantung tak beraturan. Aku tak akan melihatnya untuk terakhir kali. Ya Allah pertemukan kami di suragaMu.

Dan jika manis itu harus kuterima ketika sakit melandaku
Ijinkan dunia bahagiakanku sejenak dengan senyum dari mereka

Mbak Evy, Bunda Syaamil, Om Caca, Kak Densmart, dan Kak Dede yang baru saja dari kondangan mendatangiku di bandara. Aku telah berkata, ”Nab baik-baik aja kok.”
”Emang harus nggak baik-baik kita baru nengokin kamu?” kata Mbak Evy.
Aku ingin menangis melihat ke-so sweet-an ini, namun aku terikat janji.
Belum cukup, Kata Bunda masih ada lagi yang akan datang, Daddy Hafidz, Kak Yogi, dan Kak Fauzan katanya. Dan ya, Kak Yogi datang dengan seorang temannya (afwan lupa namanya) dan Daddy Hafidz menyusul belakangan tanpa Kak Fauzan sebelum beberapa menit aku check in. Tambah so sweet, Kak caca mentraktir kita jus dan Daddy Hafidz mentarktirku dua kotak susu ultra milk. Adakah teman yang seperti keluarga?

Ya, dan dengan dunia menyaksikan
Aku bersaksi bahwa aku bahagia memiliki cinta seperti kalian

Aku meninggalkan Bandung untuk memeluk kekasihku di Kota penuh kenangan, Medan.
Telah berulang kali aku mendengar perkataan guru sejak SD dulu, ”coba bayangkan bagaimana rasanya ketika pulang sekolah ntar kalian mendapati ada bendera merah di depan rumah, ada tenda terpasang dan banyak orang berkerumun. Tiba-tiba terdengar tangis histeris dari dalam. Bagaimana jika itu terjadi dan kalian belum sempat bertemu orang tua, meminta maaf?”
Dan aku mengalaminya saat ini.

Seberapa banyak aku menyebutmu dalam doa, Ayah? Maafkan aku.

Aku turun dari motor Bang Fikri, saudara sepupu yang diberi tugas oleh abangku untuk menjemputku dari Bandara Polonia. Abangku tak dapat menemani umi lebih lama, ia harus segera pergi ke Tebingtinggi untuk panggilan kerja yang baru saja ia terima dari kantor tempat ayah berkerja. Pelan-pelan aku berjalan sambil menyalami mereka sanak saudara yang turut berduka. Aku masuk ke dalam rumah dan mendapati Ratuku duduk di tengah-tengah ibu-ibu yang lain. Aku memeluknya, menangis di pundaknya. Ah, andai tangisku karena yang lain, tentu tak sesakit ini. Tangis dan pelukan ini berlanjut hingga aku terlelap malam itu. Umi, aku makin mencintaimu.

Jika ada tempat sebaik rumah
Tentu aku kan larikan duka padanya,
berteriak tuk hilangkan lara, kembalikan ceria
Namun tak ada yang lebih baik darinya, rumah.

Aku terbangun, solat subuh dan menyaksikan sisa duka kemarin. Bang Fikri dan Mak Uwo (Kakak Umi) yang menemani kami hingga pagi ini masih terlihat lelah akan kejadian kemarin. Dan ketika semua telah pergi, Aku, Umi, dan Dinda menapaki satu per satu kenangan yang telah terjadi. Tentang Ayah.

Jika ayah yang lain mengajarkan putra-putrinya mengaji, mendongengkan Kisah Al Fatih, tidak dengan ayahku. Ia mengajakku menonton bola, membawaku pada hingar bingar mimpi tentang perjuangan dalam olahraga. Ayah menunjukkan betapa banyak hikmah dalam satu pertandingan. Ini tidak hanya tentang menang dan kalah, tapi juang hingga peluit tanda usai ditiupkan.
Ya, jika ayah yang lain menjadi panutan dalam ibadah dan doa, ayahku tidak. Tapi ia jagoan dalam menafsirkan tiap serangan dalam sebuah pertandingan bola. Maka jika mereka bertanya mengapa aku punya kecintaan begitu hebat pada olahraga adalah karena sejak kecil aku disuguhi tontonan berbagai pertandingan ditambah abang yang juga punya hobi dalam hal ini membuatku semakin gila. Aku ingat Thomas Uber 2002 pertama kalinya jatuh cinta sama Taufik Hidayat, kala itu ditayangkan di Indosiar dan aku menontonnya bareng Ayah dan yang lainnya di rumah. Itulah mengapa.
Ya, ayahku memang tak seperti yang lain, membelikan Kitab Sirah Nabawiyah untuk jadi bahan bacaan anak-anaknya atau mendongengkan betapa Heroiknya Umar bin Al-Khattab. Ayah justru mengajakku berdebat tentang siapa yang lebih hebat, Chelsea atau MU, Lampard atau CR7, dan mengejekku jika Chelsea kalah, namun kami tertawa bersama ketika Valentino Rossi menang. Ya, kami sepakat dalam satu hal, no one better than rossi in motogp. Dan beliau terlalu sering mempraktekkan kehebatan rossi di jalanan ketika mengendarai motor. Okay, ayah termasuk yang suka ugal-ugalan dalam mengendarai motor. Kami juga sempat punya cita untuk dapat nonton motogp langsung di sirkuit satu hari nanti. Adakah pertandingan balap motor di surga? Jika ada, tentu sirkuitnya lebih keren dari Cataluna atau Mugello.
Begitulah beliau, banyak kurangnya sebagai seorang leader sejati. Lantas haruskah kusalahkan ayah akan semua kurangku hari ini?

Sebuah paket sampai di rumah senin pagi ini. Umi menerimanya dari Pak Pos. Aku mendengar dari dalam. Dodol!
“Astaghfirullah dek, orang yang mau makan dodolnya udah meninggal kemarin,” umi berujar dengan kesedihan yang mendalam.
Beberapa hari yang lalu sebelum kepergiannya ayah memintaku untuk mengirimkan dodol dari Bandung. Aku yang tenggelam dalam hiruk-pikuk tugas akhir dan persiapan UAS sering terlupa akan permintaan beliau yang satu itu, hingga akhirnya aku ingat dan mengirimkannya melalui kantor pos 3 hari sebelum kepergian beliau. Umi telah memperingatkanku untuk mengirimkan lewat TIKI atau JNE, tapi entah mengapa aku ngeyel dan mengirimkannya lewat pos. Benar saja, paket itu baru sampai sehari setelah ayah wafat. Aku menyesali itu hingga hari ini. Durhakakah aku?
“Nggak kok, yang penting niat bella udah tersampaikan,” umi menenangkanku.

Andai waktu seperti kincir angin
yang dapat aku putar sesukaku dengan hembusan angin
dan waktu kan kukembalikan untuk ubah duka, salah, hingga sesal tak kurasa.

Malam ketiga tahlilan, rumah begitu ramai dipenuhi saudara dan tetangga. Semua melantunkan doa untuk ayah, semua menundukkan kepala untuk ayah. Keluarga kami bukan keluarga yang begitu ramah dalam pergaulan, tak begitu suka berkumpul dengan tetangga, jarang bercengkrama dengan orang-orang sekitar, dan aku menangis melihat pemandangan ini. Terima kasih.
Satu per satu aku menyalami mereka yang datang malam ini, kepada tetangga sebelah kiri rumahku, Nek Kartina, aku memeluknya dengan tangis permohanan, ”jaga umi dan Dinda di sini ya, Nek” pintaku.

Terima kasih untuk senyum dan pelukan hangat
Untuk doa ikhlas yang dituturkan dalam dinginnnya malam
Meski tangis terisak aku bahagia karena kita saudara
Ukhuwah satukan kita.

Hari-hari berlalu hingga aku harus kembali lagi ke Jatinangor. Ujian dan tugas-tugas menantiku. Dinda si bungsu memintaku untuk tinggal lebih lama, tapi aku tak bisa. Aku memesan tiket Airasia untuk keberangkatan jam 5 pagi.
Sabtu pagi, 8 Juni, diiringi Umi, Dinda, dan Bang Fikri, aku sampai di Bandara Polonia. Aku memeluk umi erat, air mata terbit dipelupuk mataku, kutahan agar tak tumpah, agar tak rusak suasan tenang ini menjadi perpisahan duka.
“Hati-hati ya,” kata umi.
Tak ingin rasanya melepas peluk ini.
”Jaga umi ya,” pintaku pada Dinda. Dinda mengangguk dan aku berlalu.
Melambaikan tangan dan tersenyum untuk terakhir kalinya pada mereka hingga punggungku tak terlihat lagi.

Ya, aku tak punya ayah sehebat kalian, mengajariku menghapal Al-Qur’an. Ya, ayah bukan sosok tauladan seperti Rasulullah atau Bung Karno, ia tak punya karya hebat tuk dibanggakan. Tapi ia tunjukkan aku cara tuk bermimpi. Ia mengajarkanku tentang hidup melalui sebuah pertandingan, ia membuatku menyukai olahraga, mencintai bulu tangkis, sepak bola, pertandingan adu kecepatan, adu strategi dan serangan. Ia menuntunku pada sebuah mimpi, tuk menjadi jurnalis olahraga. Meski dulu sempat bercita-cita menjadi atlit bulu tangkis, namun usai sudah karena kudapati sulit tuk lanjutkan dengan kondisiku yang begini (re: berkerudung dan rok). Namun, menjadi jurnalis adalah hal yang keren kan, Yah? Dan benar saja, ia menuntunku tuk gapai cita, ia yang menuntunku tuk sampai di sini, Jurnalistik Fikom Unpad. Bahkan hingga akhir ia yang menemaniku tuk mengenal Jatinangor tuk pertama kalinya.
Aku punya ayah yang tak dapat dibanggakan dengan karya, tapi aku akan menjadi anak yang dapat dibanggakan olehnya, tidakkah aku karyanya juga?

Tak ada kisah bahagia tanpa duka
Dan aku telah siap untuk kabar selanjutnya
Jika sedih, akan kusambut dengan tangis dan rusuh dalam jiwa
Jika bahagia, kupeluk tawa dan senyum riang gembira
Sebab tak ada rasa yang mengalahkan rasa
Dan Allah menciptakan rasa untuk dirasa.

Ayah, maaf untuk tak mencintaimu sebanyak mencintai umi
maaf untuk pinta yang tak terwujud
ijinkanku tebus dengan mahkota untukmu disana kelak
dan di surgaNya kita akan bertemu.



Rizwan Alwi Hasibuan
31 Desember 1960-2 Juni 2013
Lelaplah dalam mimpimu Valentino Rossiku.



dan senyum dengan anggukan semangat menyambutku dalam pendaratan di Jatinangor.

No comments:

Post a Comment